Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara ‘multipihak’ sebagai salah satu upaya untuk mengatasi pembalakan liar dan mempromosikan kayu legal di Indonesia. Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber yang legal dan dapat diverifikasi.
SVLK diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 21 Tahun 2020 dan aturan turunannya, yang dalam pelaksanaanya terdapat 2 (dua) konsep atau cara untuk memastikan pemenuhan terhadap standar kelestarian dan/atau legalitas kayu, yaitu 1] memastikan pemenuhan standar dengan skema sertifikasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen (Lembaga Sertifikasi/LS) untuk mendapatkan Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan/atau Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK); dan 2] pemastian pemenuhan standar dengan skema Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Skema ini mengacu kepada standar internasional yang diadopsi sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu SNI/IEC 17050:2010 tentang penilaian kesesuaian – DKP[1].
DKP bertujuan untuk memberikan jaminan kesesuaian obyek yang diidentifikasi terhadap persyaratan tertentu yang dirujuk, dan untuk memperjelas siapa yang bertanggung jawab atas kesesuaiannya. DKP dapat diberlakukan bagi kayu dan produk kayu yang berasal dari hutan rakyat[2] kecuali jenis kayu alam, serta peredaran lanjutan atas kayu tanaman yang berasal dari Perhutani yang telah memiliki S-LK. Hal ini mempertimbangkan peredaran kayu dan produk kayu yang bersifat ‘low risk’ atau beresiko rendah, yang dapat diimplementasikan oleh pemilik Hutan Rakyat, Tempat Penampungan Terdaftar (TPT), industri rumah tangga, serta Industri Kecil dan Menengah (IKM) atau industri yang sepenuhnya memproduksi atau menggunakan bahan baku yang dikategorikan beresiko rendah.
Berdasarkan pertimbangan pengelolaan dan administrasi kayu yang harus semakin dipermudah, tetapi jaminan legalitas kayu harus tetap dijalankan, penerapan DKP diharapkan bisa menjadi solusi dan insentif berupa kemudahan jaminan legalitas bagi kayu-kayu yang berasal dari Hutan Rakyat, baik kayu bulat maupun yang telah diolah oleh industri dengan tanpa adanya kegiatan sertifikasi yang membutuhkan biaya. Namun dalam pelaksanaannya, belum ada sosialisasi yang menyeluruh tentang tata cara pelaksanaanya dan pengawasan terhadap penerbitan dan penggunaan DKP masih sangat minim, serta belum adanya informasi yang memadai terkait hasil inspeksi acak dan inspeksi khusus pengawasan DKP yang seharusnya dilakukan pemerintah[3]. Ironis, karena hingga saat ini implementasi DKP telah berjalan lebih dari 6 tahun, sejak ditetapkan pertama kali melalui Peraturan Menteri Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ KLHK) Nomor 43 Tahun 2014.
Untuk lebih lengkanya terkait pelaksanaan implementasi SVLK di jawa barat, dapat di lihat pada publikasi lembar fakta di link berikut: Lembar Fakta
[1] SVLK: Proses Menuju Tata Kelola Bertanggung Gugat, JPIK 2018
[2] Istilah hutan rakyat yang digunakan dalam dokumen ini adalah hutan yang dikelola oleh rakyat, yaitu lahan milik dan/atau lahan yang dapat diakses oleh rakyat dan dijamin legalitasnya (di luar kawasan hutan)
[3] Kertas Posisi Pemantau Independen: 2 Tahun Pelaksanaan Lisensi FLEGT, Kredibilitas dan Akuntabilitas Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Harus Ditingkatkan, 2018
Leave A Comment